seseorang tak dapat membuatmu bahagia ataupun bersedih, dirimulah yang dapat membuat kebahagian atau kesedihan itu.

Senin, 07 November 2011

kataku

ku teramat mencintaimu
tapi ku tak pandai memilah
sering kali ku paksakan kau meminum secangkir kopi yang berbau basa basi
kaupun muntahkan balada pesakitan
andai kau dapat bicara, jemu yang kan tertuang hingga tetes terakhir mungkin
letih kah kau???

tapi ku benar-benar mencintaimu
ku mencintaimu dalam diam
itulah mauku
tahukah kau, pernahkah kau ingin tahu inginku?
dalam malam, bau langit menegurku warna sepi
debu-debu senja meludah disisiku
menertawakanku yang ingin berbagi rasa padamu
dalam diam
menangkan kau dalam diam

aku

Kau membukanya dengan kalimat basa-basi
Sedikit analogi dibarengi argumentasi
Aku bertanya-tanya
Mengapa kuvonis diriku akan satu pilihan?
Ternyata terlalu dangkal ketika diselami
Mungkin ku terlalu takut jika mendua
Bukan…bukan..bukan itu
Mungkin akan egoku
Mungkin ku rapuh menghadapi takutku

Ku terjunkan tintaku
Sebenarnya aku karangan tanpa warna
Jika tinta merah yang tertuang dan kupertahankan hingga akhir
Kemiskinan warnaku tanpa nuansa yang ada jemu
Kau berkata bahwa karanganku masih panjang
Apakah tak terlalu cepat untuk memutuskan?
Terlalu klasik di wajah kontemporer
Berlindung di bawah kemutlakan nurani
Yah… begitulah kau bilang
Meresapi karangan terdahulu

semoga surat ini tak salah alamat

kukirim surat ini melalui kidung-kidung gaib
surat ini...
kutulis bukan untuk memperlihatkan keelokkan sajak
atau kemolekan kata yang saling mengikat
atau tentang keakraban mereka
dan juga bukan tentang keagungan karangan syarat makna
surat ini...
tuk menyampaikan isyarat di persimpangan jalan
sehabis mendung siang tadi
"aku mematung tanpa gerak, kesanggupankku menyatukan kata lenyap bagai kehilangan ruhnya," rasaku

Kehilangan Cermin (Terinspirasi ketika Bimbo menyanyikan sajak-sajak Taufik Ismail)

seseorang berkata tentang negeri dongeng
kemudian hening
ku denagr petikan gitar menyatu
tiga suara merdu, tiga bersaudara
ada lelaki tua duduk di kursi roda mendengarkan dalam rasa haru
beberapa menit, tak begitu lama
ia keluarkan sapu tangan kumal dari saku celananya tuk menghapus air mata
padu dalam ketukan lagu terakhir
hening kembali
lalu kudengr lelaki tua angkat bicara
"kita kehilngan cermin"


seperti cerita tentang sebuah negeri dongeng tanpa cermin

di akhir senja

Aku terlalu lelah akhir-akhir ini
Seingatku tentang memori terdahulu
yang mengharuskan tertawa atau berlari dan menangis di pojokan seperti anak kecil meminta mainanya? 

“Ia kembali dan menghentikan langkahnya menutup senja,” ku baca pesan itu dari sahabatnya, yang ia buatkan sajak-sajak senja sebelum padamnya
“Inilah senja yang kau tulis dan kau menemukannya, mendahuluiku kawan” komentar sahabat yang dibuatkan sajak senja…
“Ahh… bukan, bukan kau yang menemukan senja tapi senja yang memberikan isyarat padamu dan menemukanmu ketika kau baca isyaratnya”

Aku pun coba mengeja pada lafal-lafal itu
Mencermati satu-persatu arti yang tersembunyi
Mungkinkah senja atau senja?
Atau bahkan senjaku tak berarti?
Karena hingga kini senjaku tak ku mengerti
Ku bilang aku telah kalah
Dalam permainan mengeja senja

Ku sampaikan saja pertanyaanku, kapan aku melihat senja terakhirku?
Aku lelah tapi ku tak mampu melihat waktu barang sesaat
Muak dengan detaknya yang tak dapat ku perlambat…
Aku yang terlalu takut atau ku kira waktu tak berpihak padaku?
Yah… beginilah aku
Lagi-lagi aku telah kalah
Aku lelah mendengarkan sumpeknya waktu yang cepat berdetak
Menyisakan suara senja di telingaku…



aku menggumam

Mereka mendengar
Tetap mendengar, kekasihku
Tak usah kau berteriak ke jalanan itu
Karena mereka masih saja ‘sempurna’
Seperti  kutengok sebuah rumah melalui jendelanya
Meskipun kosong dan berdebu
Tapi bangunan itu terlihat dari luar masih saja kokoh
Dipoles oleh ribuan cat tembok
Tidakkah kau yang akan miris melihatnya?
Rumah-rumah itu telah terbentur oleh pagar-pagar Senayan
Dan mereka tetap berpikir tentang keanggunan
Seperi anak ingusan jika disuruh membaca sajak-sajak harapan
Kita, kita kekasihku
Kita yang kini terseok-seok mengalurkan keadaan

Minggu, 06 November 2011

sajakku

Aku terus mencintaimu dan selalu merindukanmu
Tak terhitung berapa kerat kehangatan candra t’lah ku curi
‘tuk mengantarkanku pada sebuah ekstase
Akankah kau masih mengenalku?
Aku yang ‘kan kau temuni kini anyir lettuce bopeng
Tapi, akan ku bacakan kumpulan aksara yang ‘kan mengingatkanmu
“Jika mencintaimu adalah suatu kesalahan maka ku tak ingin jadi benar”
Ku harap kau ‘kan mengingat
Karena kau yang membawaku menemui Jante,
menyaksikan tumbangnya Atmokarpo ditangan Joko Pandan
dan mendengarkan pembacaan sajak beberapa penyair salon

Beberapa waktu yang telah lewat atau hingga sekarang
Aku meminta izin pada takdir ‘tuk sembunyi di bawah tilam,
dikelilingi jeruji yang kian merapat
Ada banyak sasus diluaran sana
Dan yang kudengar bahwa jeruji ini aroma jebat
Semakin membuat keadaan terpintal mengusut
Mungkin aku salah menerjemahkan rapsodi kala itu
Karena sesungguhnya aku anak seorang perempuan
Yang katanya ia telah merasakan bau garam

Hingga ku benar-banar bersua dengan beku
Yang telah banyak ku kisahkan tanpa tau siapa nama sebenarnya
Ia atau aku mungkin telah lama ingin saling bersua
Ketika jeruji ini semakin mendekap
Beku datang bersama warnanya
Benar-benar bau garam

Biarlah, pada nyatanya hingga aksara ini pun aku masih merindukanmu
Walau ku benamkan selaksa rasa
Ku tetap tertambat di “karet” warna sepi
Dalam kidung tambur ghaib “surat cinta”
Rasa “tirani dan benteng”
Yang ditulis dalam “buku merah dan karbol”